
Sabtu, 20 Desember 2014
“Orang buta menuntun orang buta”
“...Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang beriman dan beramal sholih yang saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran”
“Kamu berada dalam suatu periode ketika langkah-langkah kebajikan bergerak mundur, langkah-langkah kejahatan bergerak maju, dan setan semakin bersemangat menghancurkan manusia. Inilah waktu ketika peralatannya menjadi kuat, jebakannya menyebar dan mangsanya mudah (ditangkap)”
Perhatikanlah orang-orang yang ada di sekitar kita. Ketika berjalan di pasar, naik kendaraan umum, dimanapun juga, kita akan melihat orang papa menderita kemiskinan, atau orang kaya mengabaikan Allah, padahal Dia telah menganugerahkan banyak karunia padanya, atau orang kikir yang ketakutan tentang masa depan hingga terus menimbun kekayaan, atau orang keras kepala yang menutup telinga dari nasihat.
Dengan mengamati fenomena masyarakat kita saat ini, haruskah kita meninggalkan mereka dan menyepi saja ke hutan? Tidak, Islam melarang hal yang demikian. Kita harus hidup di tengah-tengah masyarakat dengan menyingkirkan segala hambatan dan rintangan menuju akhirat. Kita juga tidak boleh menyia-nyiakan sepenggal keyakinan dan kepercayaan yang masih ada, serta menjaga diri dari melampaui batas.
Ego manusia dan setan adalah hambatan menuju ma’rifatullah, kemanusiaan, dan hukum islam. Ego manusia berusaha menggelincirkan dirinya dan setan menjadikan ego yang sudah keras menjadi semakin membangkang. Keduanya berusaha menyesatkan manusia, baik di tengah masyarakat maupun di tempat sepi.
Jika kita ingin melarikan diri, larilah dari ego dan setan, bukan dari masyarakat. Sebab jika seseorang lari dari masyarakat dan menyerukan hidup menyendiri, dia sendirilah yang sesat. Hal demikian bertentangan dengan hukum Islam. Bagaimana orang tersesat dapat membimbing orang lain? dan tidak mungkin orang buta menuntun orang buta lainnya.
“Help people to help themselves by head, hands and heart...”. Kata-kata sederhana tersebut mungkin tepat mewakili tugas kita sebagi makhluk sosial. Yang demikian sejalan dengan sabda Rasul, “sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama manusia”.
Mudah-mudahan ungkapan sederhana ini dapat membuka kesadaran sosial kita hingga menjadi manusia yang lebih peka pada lingkungan dari sebelumnya. Jika bukan kita umat islam yang mengambil posisi penting dalam peranan tersebut, masih banyak ‘sukarelawan’ lain yang dengan senang hati menempati peran yang penting dalam menentukan peradaban di masa datang.

Langganan:
Postingan (Atom)